Social commerce merupakan gabungan antara media sosial dan e-commerce, yang telah merevolusi cara kita berbelanja online. Dengan cara menghubungkan interaksi sosial dengan transaksi belanja.
Hal ini memungkinkan pengguna untuk menemukan produk, berinteraksi dengan penjual, dan menyelesaikan pembelian secara langsung di platform media sosial.
Lantas apa bedanya dengan e-commerce? Apa saja keuntungan, contoh dan kenapa pemerintah melarang? Temukan jawaban lengkapnya pada artikel di bawah ini!
Menurut Liang, Ho, Li, & Turban (2011) dalam Li Xiang, dkk (2015) Social commerce adalah gabungan dari media sosial dan e-commerce, di mana intinya adalah melakukan berbagai aktivitas komersial dengan memanfaatkan modal sosial online yang ada di media sosial.
Mengutip dari jurnal How information and communication overload affect consumers’ platform switching behavior in social commerce (2024) karya Weijing Fan, dkk, menjelaskan jika:
Negara-negara Asia juga tercatat sebagai pengguna yang sangat antusias terhadap social commerce, dengan lebih dari 80% pengguna internet di Thailand, India, dan Cina aktif sebagai pembeli sosial. Dengan total pendapatan secara global mencapai $724 miliar di tahun 2022, dan diprediksi akan melampaui $60 triliun di tahun 2030.
Kenapa social commerce menjadi begitu menarik? Salah satu alasan utamanya adalah memungkinkan pengguna untuk berbagi informasi dengan teman dan konsumen lain, sehingga membentuk lingkungan belanja yang lebih personal dan interaktif.
Secara sederhana, social commerce dapat diartikan sebagai perpaduan antara media sosial dan e-commerce, di mana platform media sosial digunakan untuk melakukan berbagai aktivitas komersial, seperti mencari informasi produk, berbelanja, dan berbagi pengalaman berbelanja.
Berikut 5 perbedaan social commerce dan e-commerce:
Perbedaan social e-commerce dan e-commerce yang pertama adalah platform yang digunakan, dimana platform yang digunakan social commerce merupakan sosial media, baik yang terintegrasi langsung dengan fitur belanja maupun tidak.
Sedangkan pada e-commerce, platform yang digunakan biasanya berupa situs web atau aplikasi khusus yang memang didedikasikan untuk berbelanja online. Contohnya, Shopee dan Tokopedia.
Berikutnya dari proses transaksinya, pada social commerce proses transaksi sering kali lebih informal dan dapat terjadi langsung melalui pesan atau komentar di platform sosial.
Sebaliknya, proses transaksi e-commerce lebih formal dan terstruktur dengan adanya fitur keranjang belanja, checkout, dan pembayaran yang aman di dalam situs web atau aplikasi.
Interaksi penjual dan pembeli yang terjadi pada dua platform ini juga berbeda, social commerce lebih intens dan personal jika dibandingkan dengan e-commerce.
Dimana pada social commerce penjual dan pembeli bisa langsung berkomunikasi lewat komentar, pesan atau live streaming, sedangkan e-commerce terbatas pada fitur ulasan dan rating di situs web.
Kemudian dari jangkauannya, social commerce memiliki jangkauan lebih luas dibandingkan dengan e-commerce. Kenapa? Sebab memanfaatkan basis pengguna media sosial yang besar. Selain itu, penjual dapat menargetkan audience spesifik dengan fitur iklan media sosial.
Terakhir dari segi strategi pemasarannya, konten menarik, influencer marketing, dan word-of-mouth menjadi strategi utama pada social commerce.
Sedangkan e-commerce memerlukan strategi pemasaran yang lebih kompleks seperti SEO, SEM, email marketing, advertising, bahkan juga media sosial.
Baca Juga: Mengenal Social Media Marketing: Jenis, Contoh, dan Prakteknya
Berikut beberapa contoh social commerce yang populer digunakan di Indonesia:
Pertama ada TikTok Shop yang saat ini terintegrasi dengan aplikasi e-commerce Tokopedia, menjadikannya sebagai sosial commerce memungkinkan pengguna untuk membeli produk langsung dari video yang mereka tonton.
Selain itu, creator bisa menambahkan produk melalui ikon "keranjang kuning" dalam konten video mereka, memungkinkan penonton untuk mengklik dan melakukan pembelian langsung di dalam aplikasi.
Baca Juga: 7 Cara Jualan di TikTok Shop untuk Pemula dan Tips Suksesnya
Berikutnya ada Facebook salah satu social media terbesar dengan pengguna 2,45 Miliar di seluruh penjuru dunia. Facebook sudah menyediakan fitur jual beli sebelum adanya social commerce lainnya yang diberi nama Facebook Store.
Memungkinkan brand untuk mengunggah produk, membuat katalog, dan melakukan penjualan produk yang muncul langsung di halaman utama mereka.
Tidak hanya itu saja, fitur ini juga memungkinkan promosi produk melalui Facebook Ads, memperluas jangkauan ke pengguna yang relevan.
Selanjutnya ada instagram Shopping, fitur baru yang disediakan instagram khusus untuk platform jual beli. Dimana Intagram memberikan fitur yang mengarahkan mereka ke section toko secara langsung.
Produk dapat ditambahkan ke konten foto dan video yang diunggah, memungkinkan pembelian langsung dari postingan.
Selanjutnya dari WhatsApp tidak hanya sebagai platform chatting saja. WhatsApp business diperuntukan untuk penjual yang ingin menawarkan produknya ke kontak yang mereka miliki.
WhatsApp juga menyediakan fitur katalog dan daftar harga yang dapat diunggah dalam profil bisnis mereka. Pengguna juga dapat berinteraksi dengan penjual melalui chat untuk melihat dan memesan produk.
Merangkum dari beberpapa sumber seperti Detik.com dan Kompas.com, alasan pemerintah melarang social commerce adalah melindungi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) serta data privasi pengguna.
Lebih jelasnya, ada 5 poin alasan kenapa pemerintah melarang adanya social commerce di Indonesia:
Social commerce, dengan kemudahan dan jangkauannya yang luas, dikhawatirkan dapat melibas pasar UMKM lokal yang masih berjuang untuk bersaing di era digital.
Larangan ini juga diharapkan dapat memberikan ruang bagi UMKM untuk berkembang dan tidak terlindas oleh platform yang lebih besar.
Selanjutnya adalah privasi pengguna, platform ini memiliki akses ke data pribadi pengguna yang cukup besar.
Pemerintah khawatir data ini dapat disalahgunakan untuk kepentingan bisnis, seperti iklan yang tidak tertarget atau bahkan penipuan.
Pertumbuhannya yang pesat dikhawatirkan dapat mengganggu keseimbangan pasar dan memicu persaingan yang tidak sehat.
Presiden Joko Widodo juga menyebutkan bahwa perdagangan berbasis elektronik melalui media sosial telah mengakibatkan penurunan omzet di pasar-pasar tradisional.
Meskipun menjanjikan keuntungan bagi platform dan beberapa penjual besar, belum tentu memberikan manfaat yang merata bagi seluruh masyarakat.
Pemerintah ingin memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi nasional tidak hanya dinikmati oleh segelintir pihak, tetapi juga dapat menjangkau seluruh rakyat.
Dalam hal ini, Pemerintah sedang memfinalisasi revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020 untuk mengatur lebih ketat perdagangan elektronik berbasis media sosial.
Termasuk pembatasan fungsi media sosial agar tidak berubah menjadi platform ekonomi penuh. Kementerian Komunikasi dan Informatika akan memberikan peringatan, dan jika tidak dipatuhi, platform tersebut bisa ditutup.
Terakhir adalah untuk kepentingan kontrol dan pengawasan, transaksi di platform social commerce lebih sulit untuk dilacak dan diawasi oleh pemerintah dibandingkan dengan e-commerce tradisional.
Sebagai pembeli maupun penjual sudah sebaiknya mengambil langkah bijak mengenai bagaimana cara penggunaan social commerce yang tepat. Semoga bermanfaat!