Devaluasi adalah langkah yang diambil oleh suatu negara untuk menurunkan nilai mata uangnya terhadap mata uang asing secara resmi. Apakah ada pengaruhnya terhadap bisnis? Tentu saja, salah satunya, biaya impor barang dan jasa akan meningkat, yang dapat mengakibatkan lonjakan harga bagi konsumen.
Kebijakan ini umumnya dilakukan oleh pemerintah atau bank sentral dalam upaya mengatasi berbagai permasalahan ekonomi, seperti menyeimbangkan neraca perdagangan atau mengatasi defisit.
Mari kita pelajari lebih dalam apa yang dimaksud dengan devaluasi, faktor yang mempengaruhi, dampak hingga riwayat devaluasi yang pernah terjadi di Indonesia.
Secara umum, devaluasi adalah penyesuaian resmi yang dilakukan oleh pemerintah atau bank sentral untuk menurunkan nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing.
Bertujuan untuk meningkatkan daya saing produk domestik di pasar internasional dengan cara membuatnya lebih murah dibandingkan produk impor. Hal ini dapat merangsang ekspor dan memperbaiki neraca perdagangan negara.
Namun, devaluasi juga dapat menyebabkan inflasi, karena harga barang impor menjadi lebih tinggi, yang berdampak langsung pada daya beli masyarakat.
Berikut beberapa pengertian devaluasi menurut para ahli:
Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata devaluasi diartikan sebagai penurunan nilai uang yang dilakukan dengan sengaja terhadap uang luar negeri atau terhadap emas (misalnya, untuk memperbaiki perekonomian)
Dalam bukunya yang berjudul Makro Ekonomi (2007), Mankiw menjelaskan jika devaluasi adalah penurunan nilai tukar yang dilakukan oleh Bank Sentral. Jika terjadi kenaikan maka disebut dengan Revaluasi.
Dari dua penjelasan di atas, dapat disimpulkan jika devaluasi adalah suatu kebijakan ekonomi yang bertujuan untuk menurunkan nilai tukar mata uang domestik secara resmi, baik terhadap mata uang asing maupun komoditas seperti emas.
Baca Juga: Komoditas Adalah: Pengertian, Karakteristik dan Jenisnya
Devaluasi berkaitan dengan nilai mata uang, dimana jika nilai mata uang turun maka akan terjadi devaluasi. Berikut beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya devaluasi:
Ketika tingkat inflasi di suatu negara lebih tinggi dibandingkan negara lain, daya beli mata uang domestik akan menurun. Hal ini dapat menyebabkan tekanan terhadap nilai tukar dan mendorong pemerintah untuk melakukan devaluasi guna menyesuaikan harga barang di pasar internasional.
Faktor berikutnya adalah terjadinya defisit pada neraca perdagangan. Jika suatu negara mengimpor lebih banyak barang dan jasa daripada yang diekspornya, maka dapat mengakibatkan tekanan pada nilai tukar. Defisit yang terus-menerus dapat memicu devaluasi untuk meningkatkan daya saing produk domestik di pasar global.
Ketidakstabilan politik dan ekonomi, juga dapat menjadi penyebab terjadinya devaluasi.Seperti krisis keuangan atau ketidakpastian dalam kebijakan pemerintah, dapat mengurangi kepercayaan investor. Ketika investor menarik dana mereka dari pasar, nilai mata uang akan cenderung turun, yang dapat mengakibatkan devaluasi.
Kemudian devaluasi juga dapat disebabkan karena adanya kenaikan suku bunga di negara lain. Sebab, jika suku bunga di negara lain meningkat, investor mungkin akan menarik investasi mereka dari negara dengan suku bunga lebih rendah untuk mencari imbal hasil yang lebih tinggi. Karena dapat menyebabkan penurunan nilai mata uang domestik dan berpotensi memicu devaluasi.
Dalam beberapa kasus, bank sentral mungkin memutuskan untuk melakukan intervensi pasar dengan menurunkan nilai tukar mata uang secara resmi sebagai bagian dari kebijakan moneter untuk mengatasi masalah ekonomi tertentu.
Kebijakan devaluasi yang dilakukan pemerintah akan mengakibatkan beberapa dampak berikut bagi pelaku usaha:
Seperti yang dijelaskan di atas, devaluasi adalah kebijakan perusahaan yang dilakukan untuk mengatasi berbagai masalah ekonomi, salah satunya dengan mengembalikan keseimbangan kurs mata yang negara di dunia perdagangan internasional.
Selain itu, ada beberapa tujuan lainnya, diantaranya sebagai berikut:
Meningkatkan kegiatan ekspor negara, sebab dengan devaluasi produk domestik akan lebih murah di pasar internasional. Penurunan nulai mata uang dilakukan untuk menurunkan nilai mata uang domestik terhadap mata uang asing.
Sehingga harga barang ekspor menjadi lebih murah di pasar internasional. Dengan harga yang lebih kompetitif, permintaan terhadap produk ekspor akan meningkat, yang pada gilirannya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi negara tersebut.
Ketika nilai ekspor meningkat dan impor menurun akibat penurunan nulai mata uang, kondisi neraca perdagangan dapat membaik. Penurunan nulai mata uang bertujuan untuk menyeimbangkan neraca perdagangan dengan meningkatkan pendapatan dari ekspor dan mengurangi ketergantungan terhadap impor.
Devaluasi juga dilakukan untuk mengurangi beban utang luar negeri yang menggunakan mata uang domestik. Saat nilai mata uang domestik menurun, utang yang dibayar dengan mata uang asing menjadi lebih sedikit jika dihitung dalam mata uang lokal, sehingga membantu pemerintah dalam mengelola utang.
Dengan meningkatnya ekspor dan menurunnya impor, produksi dalam negeri akan terdorong untuk memenuhi permintaan ekspor. Hal ini dapat menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Devaluasi terkadang dilakukan untuk menstabilkan harga barang dan jasa di dalam negeri. Meskipun penurunan nulai mata uangberisiko meningkatkan harga barang impor, namun dalam jangka panjang kebijakan ini bisa membantu menciptakan stabilitas harga melalui peningkatan produksi dan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Berikut adalah riwayat devaluasi di Indonesia berdasarkan informasi yang dikutip dari beberapa sumber:
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto (Orde Baru), Indonesia mendevaluasi rupiah pada 21 Agustus 1971, menurunkan nilai dari Rp378,00 menjadi Rp 415,00 per 1 dolar AS. Hal ini dilakukan sebagai tanggapan terhadap keputusan Presiden AS Richard Nixon pada 15 Agustus 1971 yang menghentikan pertukaran dolar dengan emas, yang menyebabkan ketidakstabilan nilai tukar.
Penurunan nulai mata uang ini bertujuan untuk menstabilkan ekonomi Indonesia di tengah perubahan besar dalam sistem moneter global. Kurs ini bertahan hingga 15 November 1978, menjadikannya salah satu periode stabilitas terpanjang dalam sejarah ekonomi Orde Baru.
Devaluasi kedua terjadi pada 15 November 1978, juga di bawah pemerintahan Presiden Soeharto dan Menkeu Ali Wardhana. Nilai tukar rupiah turun dari Rp415,00 menjadi Rp 625,00 per 1 dolar AS.
Walaupun Indonesia mendapat keuntungan dari kenaikan harga minyak dunia akibat Perang Arab-Israel 1973, masalah internal, terutama utang besar Pertamina, memaksa pemerintah untuk mengambil langkah devaluasi. Penurunan nulai mata uang ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing ekspor.
Pemerintah juga mulai menerapkan sistem kurs mengambang terkendali (managed floating exchange rate), di mana nilai tukar rupiah diatur dalam rentang tertentu terhadap sekeranjang mata uang negara-negara mitra dagang.
Kemudian, pada 30 Maret 1983, Menteri Keuangan Radius Prawiro, di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, kembali mendevaluasi rupiah sebesar 48%, dari Rp702,50 menjadi Rp970,00 per 1 dolar AS.
Kebijakan ini diambil karena harga minyak global menurun drastis, yang menyebabkan pendapatan devisa Indonesia turun. Untuk mendorong ekonomi, pemerintah mulai menggalakkan ekspor non-migas dan mendorong penggunaan produk dalam negeri. Meskipun demikian, rupiah terus mengalami depresiasi.
Devaluasi keempat dilakukan pada 12 September 1986, di bawah kepemimpinan yang sama. Rupiah kembali didevaluasi sebesar 47%, dari Rp1.134,00 menjadi Rp1.664,00 per 1 dolar AS. Meskipun pemerintah telah mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan ekspor non-migas, depresiasi nilai tukar tetap tidak terhindarkan.
Pada saat ini, rupiah sudah terdepresiasi 40% sejak penurunan nulai mata uang terakhir tahun 1983. Untuk menyesuaikan diri dengan situasi ekonomi yang lebih luas, pemerintah kemudian menerapkan sistem kurs mengambang bebas (free floating rate) yang memungkinkan nilai tukar rupiah berfluktuasi sesuai mekanisme pasar, meskipun Bank Indonesia tetap memiliki wewenang untuk melakukan intervensi bila diperlukan.
Baca Juga: 15 Jenis Investasi yang Aman dan Menguntungkan
Setelah devaluasi 1986, nilai tukar rupiah terus mengalami fluktuasi hingga mencapai depresiasi besar pada akhir 1997, di mana rupiah melemah hingga 124%. Pada masa krisis moneter Asia 1997-1998, nilai tukar rupiah anjlok drastis, dan sejak itu, Indonesia tetap menggunakan sistem kurs mengambang bebas, dengan Bank Indonesia tetap berwenang melakukan intervensi jika diperlukan. Semoga bermanfaat!
Kebijakan devaluasi adalah langkah ekonomi yang penting dengan dampak luas. Di satu sisi, bisa mendorong ekspor dan memperbaiki neraca perdagangan. Namun, di sisi lain, juga bisa memicu inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat. Oleh karena itu, penerapannya perlu hati-hati dan diimbangi dengan langkah-langkah yang tepat untuk menjaga stabilitas ekonomi.