Berhasil tidaknya suatu usaha, seringkali dilihat dari apa yang disebut sebagai ‘keuntungan’. Dalam dunia bisnis, keuntungan ini ada banyak versinya, salah satunya adalah gross profit margin. Istilah itu bukan hanya terkait dengan angka saja, tetapi juga merupakan strategi untuk memastikan kesehatan sebuah bisnis.
Jika ditarik lebih jauh lagi, gross profit margin ini bukan sekadar keuntungan. Pertanyaan seperti, sejauh mana biaya produksi dapat memengaruhi profitabilitas, itu juga bisa dijawab melalui hasil hitungannya. Jadi, ketika Anda sebagai pebisnis menguasai cara menghitung, sampai bahkan nilai tolok ukurnya, maka pondasi keuangan bisnis Anda bisa terbilang solid.
Penasaran bagaimana cara menghitungnya? Yuk, simak artikel ini sampai tuntas!
Seperti biasa, supaya di antara kita tidak sampai salah paham, mari kita pahami dulu pengertiannya. Dalam hal ini, ada dua istilah penting untuk dipahami, yakni gross profit dan gross profit margin. Keduanya saling terkait, namun memiliki sedikit perbedaan mendasar
Jadi, apa itu gross profit? Melansir laman Investopedia.com, gross profit adalah nominal keuntungan yang didapat suatu bisnis, setelah dikurangi biaya produksi langsung dan operasional. Fokusnya pada angka yang menggambarkan keadaan keuangan perusahaan.
Sementara itu, merangkum Repository STEI, gross profit margin adalah rasio yang digunakan untuk mengukur persentase gross profit terhadap penjualan bersih sebuah bisnis. Fungsinya, untuk membantu mengevaluasi efisiensi perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dari penjualan setelah memperhitungkan biaya produksi langsung.
Berdasar kedua kutipan itu, maka kita bisa menyimpulkan bahwa gross profit dan gross profit margin alias GPM ini dua hal berbeda yang saling berkelindan. Singkatnya, ‘gross profit’ adalah angka nominal keuntungan, sedangkan ‘gross profit margin’ adalah persentase untuk mengevaluasi efisiensi keuntungan.
Baca Juga: Gross Profit Disebut Juga dengan Laba Bruto, Ini Penjelasannya
Selain itu, gross profit ini kadang kala maknanya juga sering tertukar dengan net profit. Bahkan bisa jadi, sebagian dari kita ada pula yang belum tahu perbedaan keduanya. Maka, supaya tidak lagi salah paham, Anda bisa menyimak tabel perbedaan di bawah ini:
Kalau masih bingung, berikut penjelasan deskriptif terkait poin-poin perbedaannya:
Gross profit adalah laba kotor yang diperoleh setelah pendapatan total dikurangi biaya langsung produksi atau penjualan (COGS). Laba ini menunjukkan keuntungan dasar dari aktivitas inti perusahaan. Sedangkan net profit, adalah laba bersih yang dihitung setelah semua biaya, termasuk operasional, pajak, dan beban lainnya dipotong dari pendapatan total.
Komponen gross profit hanya mencakup biaya langsung produksi, seperti bahan baku dan tenaga kerja langsung. Sementara untuk net profit mencakup semua biaya, baik yang langsung maupun tidak langsung. Seperti misalnya sewa tempat, utilitas, dan pajak.
Gross profit lebih fokus pada efisiensi produksi atau penjualan dalam menghasilkan pendapatan. Sementara itu, net profit fokus pada profitabilitas keseluruhan, untuk menunjukkan apakah bisnis menghasilkan keuntungan setelah semua kewajiban keuangan terpenuhi.
Dalam praktiknya, gross profit sering digunakan untuk mengevaluasi efisiensi aktivitas inti perusahaan, seperti produksi atau penjualan. Rasio ini membantu menentukan apakah harga jual dan biaya produksi sudah optimal. Sebaliknya, net profit digunakan untuk menilai kesehatan keuangan bisnis secara keseluruhan.
Dalam kajian bisnis, profit margin ini terbagi menjadi beberapa jenis. Mengutip Soemarso dalam Yutmiari (2020), terdapat empat jenis yaitu, laba kotor, laba operasi, laba bersih, laba laba ditahan. Begini penjelasan lengkapnya:
Laba kotor adalah laba yang dihitung dengan mengurangkan harga pokok penjualan (COGS) dari penjualan bersih. Jenis ini mencerminkan keuntungan yang diperoleh dari aktivitas inti perusahaan, tanpa memperhitungkan biaya operasional. Untuk memaksimalkan laba kotor, perusahaan perlu meningkatkan penjualan dan menurunkan biaya produksi.
Laba operasi atau biasa disebut laba usaha, diperoleh dengan mengurangkan harga pokok penjualan dan biaya operasional dari pendapatan bersih. Hasilnya nanti menunjukkan kinerja operasional perusahaan secara lebih spesifik. Termasuk juga keuntungan yang dihasilkan dari kegiatan utama bisnis sebelum memperhitungkan pajak dan bunga.
Laba bersih (net income) adalah selisih antara pendapatan total dan seluruh biaya yang dikeluarkan, termasuk pajak. Ada dua jenis laba bersih: sebelum pajak (sebelum dikurangi pajak) dan setelah pajak (setelah semua biaya pajak dihitung). Keuntungan perusahaan secara keseluruhan bisa diketahui lewat laba ini.
Baca Juga: Net Income Adalah Laba Bersih, Begini Cara Menghitungnya!
Laba ditahan adalah laba bersih yang tidak dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen, melainkan disimpan untuk kebutuhan masa depan perusahaan. Jenis ini dihitung dengan menjumlahkan laba bersih yang diperoleh, dan mengurangkan distribusi laba yang telah dibagikan.
Untuk cara menghitung GPM, ada dua rumus yang harus Anda ikuti. Yaitu rumus untuk mengetahui laba kotor, dan rumus GPM. Sebab kalau Anda langsung menghitung GPM tanpa mengetahui dulu laba kotornya, jelas nanti kebingungan. Berikut kedua rumus tersebut:
Laba Kotor = Pendapatan Penjualan - Harga Pokok Penjualan
Keterangan:
GPM = Laba Kotor ÷ Pendapatan Penjualan x 100%
Keterangan:
Supaya mudah dalam perhitungannya, ada beberapa langkah yang harus Anda lakukan. Berikut di antaranya:
Baca Juga: Cara Menghitung Net Profit Margin dan Contohnya
Supaya lebih konkret, Bee kasih contoh kasusnya. Misalnya saja ada perusahaan manufaktur bernama XYZ, yang memproduksi sepatu sneakers. Dalam satu bulan, perusahaan itu menjual sebanyak 15.000 pasang sepatu dengan harga rata-rata Rp600.000 per pasang. Total pendapatan dari penjualan sepatu tersebut mencapai Rp9.000.000.000.
Namun, untuk memproduksi sepatu-sepatu tersebut, perusahaan mengeluarkan biaya produksi yang mencakup bahan baku, tenaga kerja, dan biaya pabrik lainnya sebesar Rp5.000.000.000.
Nah, untuk memahami profitabilitas bisnisnya, perusahaan XYZ perlu menghitung laba kotor terlebih dahulu, untuk mengetahui selisih pendapatan penjualan setelah dikurangi dengan harga pokok penjualan. Berikut adalah langkah perhitungannya secara detail:
#Menghitung Laba Kotor
Diketahui:
Penyelesaian:
Laba Kotor = Pendapatan Penjualan - Harga Pokok Penjualan = Rp9.000.000.000 - Rp5.000.000.000 = Rp4.000.000.000
# Menghitung GPM
Setelah mengetahui laba kotornya, Barulah kemudian, perusahaan dapat menghitung GPM untuk mengetahui persentase laba kotornya. Dengan berdasarkan rumus yang sudah dijelaskan di atas, maka begini contoh perhitungannya:
Diketahui:
Grosss Profit Margin = Laba Kotor ÷ Pendapatan Penjualan × 100% = (Rp4.000.000.000 ÷ Rp9.000.000.000) × 100% = 44,44%
Dari hasil perhitungan tersebut, dapat disimpulkan bahwa perusahaan XYZ memiliki GPM sebesar 44,44%. Artinya, dari setiap Rp100 pendapatan penjualan, Rp44,44 merupakan laba kotor yang dapat digunakan untuk menutupi biaya lainnya, seperti biaya operasional, pajak, dan laba bersih.
Dari sini, sebagian dari Anda mungkin bertanya-tanya, kira-kira berapa nilai GPM yang baik? Melansir laman BDC.ca, nilai GPM yang ideal bervariasi tergantung pada jenis industri dan model bisnis. Industri dengan biaya produksi tinggi seperti ritel, biasanya memiliki margin yang lebih rendah dibandingkan industri teknologi.
Untuk lebih lengkapnya, berikut Bee rangkum nilai GPM ideal dari ketiga jenis industri:.
Industri ritel, seperti supermarket atau toko pakaian, umumnya memiliki nilai GPM yang rendah, berkisar antara 20% hingga 40%. Hal ini umumnya disebabkan oleh tingginya persaingan dan rendahnya margin keuntungan per produk. Namun, jika volume penjualannya tinggi, industri ini tetap masih bisa menghasilkan keuntungan yang signifikan.
Kemudian untuk industri teknologi, seperti pengembang perangkat lunak atau produsen elektronik, seringkali memiliki margin yang jauh lebih tinggi, yaitu sekitar 60%-80%. Margin ini tinggi karena dua hal. Pertama, karena tingginya permintaan pasar pada produk baru, apalagi yang inovatif. Kedua, biaya produksi yang relatif rendah setelah tahap pengembangan awal.
Lalu untuk industri jasa, seperti konsultan atau layanan digital, GPM-nya cukup variatif, sekitar 50%-70%. Faktor pengaruhnya ada tiga, yakni jenis layanan yang ditawarkan, efisiensi dalam mengelola tenaga kerja, dan biaya operasional. Itu sebabnya industri ini sering kali memiliki biaya tetap yang rendah, sehingga margin yang didapat cenderung stabil.
Pada paragraf pembuka tadi, kita sempat sedikit menyinggung terkait manfaat daripada GPM. Yaitu bahwa ketika mengetahuinya, Anda akan tahu sejauh mana biaya produksi dapat memengaruhi profitabilitas Nah, dalam kajian bisnis, manfaatnya tidak hanya itu. Berikut di antaranya:
GPM memberikan gambaran yang jelas presentase keuntungan yang dihasilkan dari penjualan produk atau layanan. Dari situ, manajemen perusahaan dapat menilai apakah mereka sudah mencapai target, atau masih perlu evaluasi pada elemen bisnis yang kurang optimal.
Senada dengan sebelumnya, GPM juga bermanfaat untuk mengukur kinerja manajemen dalam mengelola biaya dan meningkatkan laba kotor. Tentunya dengan cara membandingkan GPM terhadap periode sebelumnya. Dengan begitu, perusahaan dapat mengevaluasi efektivitas strategi manajerial yang diterapkan.
Selain perbandingan secara internal, GPM juga memungkinkan perusahaan untuk membandingkan kinerja keuangan mereka dengan kompetitor. Upaya ini sekurang-kurangya, bisa menjawab pertanyaan seperti, apakah posisi mereka di pasar, dan apakah mereka perlu meningkatkan efisiensi atau mengubah strategi bisnis.
Informasi dari GPM sangat berguna dalam pengambilan keputusan strategis. Misalnya saja jika margin laba kotor rendah, manajemen dapat mempertimbangkan langkah-langkah seperti, pengurangan biaya produksi, atau penyesuaian harga untuk meningkatkan keuntungan.
Manfaat yang terakhir, yakni sebagai dasar dalam merencanakan anggaran. Data GPM dapat membantu finance atau akuntan, misalnya, untuk memastikan dana dialokasikan dengan bijaksana untuk produksi dan pemasaran. Ini juga membantu dalam menentukan target penjualan yang realistis berdasarkan potensi laba yang diharapkan.
Namun, dalam merencanakan anggaran, para pebisnis atau finance biasanya menghadapi berbagai tantangan, seperti mengintegrasikan data keuangan dari berbagai sumber, atau melakukan analisis keuangan. Kalaupun semua itu bisa dihadapi, biasanya memakan waktu yang cukup lama karena masih dilakukan secara manual.
Maka, di sinilah aplikasi pembukuan keuangan seperti Beecloud hadir untuk memberikan solusi. Dengan fitur analitik keuangan yang canggih, Beecloud memungkinkan Anda untuk membantu banyak hal, misalnya memantau GPM secara real-time, membuat proyeksi anggaran, atau mengoptimalkan alokasi dana dengan lebih akurat.
Tak hanya itu, Beecloud juga dirancang untuk memudahkan seluruh proses pencatatan hingga pelaporan keuangan, sehingga Anda dapat lebih fokus pada pengembangan bisnis tanpa repot mengurus rincian teknis. Tertarik ingin mencobanya? Silakan klik banner di bawah ini sekarang juga!