Akad mudharabah merupakan salah satu bentuk kerjasama dalam ekonomi syariah yang sering digunakan dalam berbagai aktivitas bisnis dan investasi. Dalam akad ini, terdapat dua pihak utama, yaitu pemilik modal (shahibul mal) dan pengelola usaha (mudharib).
Pemilik modal menyerahkan uangnya kepada pengelola usaha untuk dikelola, dengan kesepakatan bahwa keuntungan yang diperoleh akan dibagi sesuai dengan nisbah atau persentase yang telah disepakati sejak awal.
Mari kita pelajari secara lebih dalam pada artikel di bawah ini!
Dalam Buku Akad Mudharabah: Penyaluran Dana dengan Prinsip Bagi Hasil (2021) karya Zainal Arifin, kata Mudharabah berasal dari bahasa Arab yang artinya sebuah perumpamaan seorang yang memberikan harta benda kepada orang lain agar digunakan perdagangan yang menghasilkan keuntungan bersama dengan syarat tertentu. Jika rugi maka kerugian tersebut ditanggung pemilik modal.
Sedangkan dalam istilah fiqih muamalah, istilah mudharabah dapat diartikan dengan berbagai pengertian. Berikut beberapa pendapat beberapa ulama' tentang pengertian akad mudharabah.
Menurut Madzhab Syafi'i, mudharabah adalah sebuah kerja sama dimana pemilik modal menyerahkan sejumlah uang kepada pengusaha untuk dijalankan dalam suatu usaha dagang dengan keuntungan menjadi milik bersama, diantara keduanya.
Mudharabah menurut Mazhab Hanafi adalah sebuah perjanjian untuk berserah di dalam keuntungan dengan modal dari salah satu pihak dan kemampuan/ skill dari pihak lainnya.
Kemudian Mudharabah menurut Madzhab Maliki adalah sebagai penyerahan uang di muka oleh pemilik modal dengan jumlah yangs udah ditentukan kepada seorang yang akan menjalankan usaha dengan uang tersebut. Sebagai imbalannya, pemilik modal mendapatkan imbalan dari sebagian keuntungan usaha.
Sedangkan menurut Madzhab Hambali, Mudharabah diartikan sebagai penyerahan suatu barang atau sejenisnya yang dapat dengan jelas ditentukan jumlahnya kepada orang yang mengusahakannya (berbisnis), dengan mendapatkan sebagian dari keuntungannya.
Dari penjelasan keempat madzhab di atas, dapat disimpulkan bahwa akad mudharabah adalah kerja sama antara pemilik modal dan pengelola usaha, di mana pemilik modal menyerahkan dana untuk dikelola. Keuntungan yang dihasilkan dari usaha tersebut dibagi berdasarkan kesepakatan yang telah ditentukan sebelumnya. Namun, apabila terjadi kerugian, maka kerugian tersebut ditanggung sepenuhnya oleh pemilik modal, selama tidak ada kelalaian dari pihak pengelola usaha.
Baca Juga: Cara Menghitung Persentase Keuntungan dan Contohnya
Masih berdasarkan buku yang sama Akad Mudharabah: Penyaluran Dana dengan Prinsip Bagi Hasil (2021), akad mudharabah dibedakan menjadi 2 jenis yakni mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah.
Mudharabah muthlaqah adalah akad yang dilakukan dalam bentuk kerjasama antara pemilik modal dan pelaku usaha dengan cakupan yang sangat luas, tanpa adanya batasan spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis.
Biasanya akan ini diterapkan dalam bentuk tabungan, dan tidak memiliki batasan bagi bank dalam penggunaan dana yang dihimpun, sesuai dengan prinsip dasarnya.
Akad mudharabah muthlaqah ini memiliki beberapa karakteristik, diantaranya sebagai berikut:
Akad mudharabah muqayyadah, atau restricted mudharabah, adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Pada jenis akad ini, pengelola dana (mudharib) dibatasi oleh pemilik modal (shahibul maal) terkait jenis usaha, waktu, atau lokasi usaha. Pembatasan ini mencerminkan preferensi pemilik modal dalam memilih bidang usaha tertentu.
Karakteristik akad mudharabah muqayyadah adalah sebagai berikut:
Selain dua jenis di atas, Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia No:155/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Mudharabah, ada dua bentuk akad mudharabah lain yang sah digunakan, yakni:
Dalam hal ini, ketentuan hukum bentuk akad mudharabah yang sah menurut MUI ada 4, yakni Mudharabah Muthlaqoh, Mudharabah Muqayyadah, Mudharabah Tsuna'iwah, dan Mudharabah Musytarakah.
Berikut dasar hukum Akad Mudharabah:
Dasar hukum mudharabah dalam Al-Quran:
Menurut Adiwarman (2011) dalam Zaenal Arifin (2021), rukun akad mudharabah terdiri dari:
Rukun pertama akad mudharabah adalah adanya pelaku, yang terdiri dari pemilik modal (shahibul mal) dan pelaku usaha (Mudharib) sebagai pihak yang menjalankan usaha.
Dalam Fatwa MUI No:155/DSN-MUI/IX/2017, para pihak harus memenuhi beberapa ketentuan berikut:
Berikutnya ada objek mudharabah, baik itu modal dari shahibul mal atau kerja dari mudharib. Modal dapat berupa uang atau barang dengan nilai uang yang disepakati, sedangkan kerja bisa berupa keahlian atau keterampilan tertentu. Modal harus sudah disetor dan tidak boleh berupa hutang. Tanpa kedua objek ini, akad mudharabah tidak sah.
Praktik mudharabah harus dilakukan berdasarkan kesepakatan dan persetujuan kedua belah pihak, dan harus didasarkan pada prinsip kesepakatan bersama (an-taraddin minkum). Pemilik modal dan pengelola usaha harus rela dengan peran masing-masing dalam menjalankan akad ini.
Dalam hal ini MUI menerapkan ketentuan shighat akad yang harus dipenuhi, diantaranya:
Baca Juga: Investor Adalah Pemegang Saham, Begini Penjelasannya
Rukun terakhir adalah nisbah keuntungan atau bagi hasil, yakni ketentuan dalam pembagian keuntungan antara shahibul maal dan mudharib, yang harus disepakati sejak awal untuk menghindari perselisihan.
Dalam hal ini MUI menerapkan 6 poin ketentuan nisbah bagi hasil, diantaranya sebagai berikut:
Lalu, bagaimana ketentuan keuntungan dan kerugian akad mudharabah? Dalam hal ini MUI sudah mengaturnya dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia No:155/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Mudharabah, diantaranya adalah sebagai berikut:
Berikut gambaran sederhana praktek akad mudharabah:
Seorang nasabah bernama Ahmad memiliki modal sebesar Rp 100.000.000 dan ingin menginvestasikan dananya dalam bentuk tabungan mudharabah di Bank Syariah XYZ. Bank XYZ bertindak sebagai pengelola modal (mudharib), sedangkan Ahmad adalah pemilik modal (shahibul mal).
Setelah dana diserahkan, Bank XYZ menggunakan modal tersebut untuk membiayai beberapa usaha. Di akhir periode (misalnya, setiap 3 bulan), keuntungan yang diperoleh dari usaha tersebut dihitung. Jika keuntungan yang didapatkan adalah Rp 20.000.000, maka Ahmad akan menerima 60% dari keuntungan tersebut, yaitu Rp 12.000.000, dan Bank XYZ akan mendapatkan 40%, yaitu Rp 8.000.000.
Jika dalam periode tertentu usaha yang dijalankan mengalami kerugian, Ahmad sebagai pemilik modal akan menanggung kerugian sesuai dengan jumlah modal yang diinvestasikan, sedangkan Bank XYZ tidak akan memperoleh bagian keuntungan, kecuali jika kerugian terjadi karena kelalaian atau pelanggaran oleh Bank XYZ.
Dari contoh kasus di atas, praktek akad mudharabah membutuhkan pembukuan usaha agar dapat mengetahui apakah perusahaan tersebut sedang mengalami kerugian atau keuntungan. Sehingga, kedua belah pihak bisa
Dalam hal ini, Anda bisa menggunakan aplikasi pembukuan keuangan Beecloud. Anda bisa mencatat setiap transaksi dalam bisnis Anda dengan lebih praktis, mencatat modal dan investasi hingga membuat laporan laba rugi, neraca, arus kas dan lainnya secara otomatis. Mau coba dulu? Bisa! Dengan klik banner di bawah ini sekarang juga!