Semakin hari, persaingan bisnis semakin meningkat. Membuat pelaku usaha memutar otak untuk bisa bertahan dan terus meningkatkan pangsa pasar mereka. Hingga, muncullah strategi kontroversial predatory pricing.
Predatory pricing adalah praktik menetapkan harga barang atau jasa di bawah biaya produksi dengan tujuan menghilangkan pesaing dari pasar. Meskipun pada awalnya tampak menguntungkan bagi konsumen karena harga yang rendah, predatory pricing dapat menimbulkan dampak jangka panjang yang merugikan.
Nah, dalam artikel ini kita akan membahas lebih dalam apa yang dimaksud dengan predatory pricing, dampaknya, sanksi hingga contohnya di Indonesia.
Istilah predatory pricing disebut juga dengan praktik jual rugi, dimana penjual sengaja menetapkan harga lebih rendah dibanding pasaran umum, dengan harapan dapat meningkatkan penjualan mereka.
Dalam laman 0.gsb.columbia.edu yang berujudui Predatory Pricing: Strategic Theory and Legal Policy karya Patrick, dkk. Predatory pricing adalah strategi penurunan harga yang menguntungkan karena kekuatan pasar tambahan yang diperoleh pengusaha setelah berhasil menghilangkan, mendisiplinkan, atau menghambat pesaing dan calon pesaing.
Sederhananya, pengertian predatory pricing adalah tindakan sebuah perusahaan yang menetapkan harga di bawah biaya produksi dengan maksud menyingkirkan pesaing dan meningkatkan penjualan mereka.
Di Indonesia sendiri praktek predatory pricing atau jual rugi dilarang, berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha yang Tidak Sehat, yang menyebutkan jika:
"Pelaku usaha dilarang melakukan pemasaran barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau memastikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan"
Sekilas memang, strategi ini menguntungkan namun akan merugikan di masa depan. Bahkan, mahkamah agung Amerika Serikat menyatakan bahwa strategi ini bersifat spekulatif dan tidak pasti, serta dianggap jarang berhasil, seperti yang dijelaskan Patrick dkk, dalam artikelnya.
Baca Juga: Cara Menentukan Harga Jual: Panduan Lengkap untuk Pebisnis
Mengutip dari jurnal artikel berjudul Dampak Kegiatan Jual Rugi (Predatory Pricing) yang Dilakukan Pelaku Usaha dalam Perspektif Persaingan Usaha (2017) karya Rezmia Febrina, berikut beberapa dampak dari praktek predatory pricing:
Usaha kecil seringkali memiliki keterbatasan dalam hal kapasitas produksi, modal, dan skala ekonomi yang lebih kecil dibandingkan perusahaan besar.
Ketika pelaku usaha dominan atau incumbent menerapkan predatory pricing, yaitu menjual produk dengan harga yang sangat rendah, usaha kecil tidak memiliki kemampuan untuk menurunkan harga ke tingkat yang sama karena akan menimbulkan kerugian besar.
Setelah berhasil menyingkirkan pesaing, pelaku usaha jual rugi akan memiliki kendali penuh atas pasar. Dengan sedikit atau tidak adanya kompetisi, pelaku usaha tersebut dapat menetapkan harga sesuai keinginan mereka, yang sering kali jauh lebih tinggi dari harga sebelumnya.
Hal ini juga akan merugikan konsumen dalam jangka panjang karena pilihan produk menjadi terbatas dan harga naik secara signifikan. Monopoli ini menciptakan hambatan masuk bagi pelaku usaha baru dan mengurangi persaingan sehat dalam pasar.
Pelaku usaha yang melakukan predatory pricing akan menanggung kerugian finansial dalam jangka pendek karena menjual produk di bawah biaya produksi.
Meskipun demikian, mereka tetap melanjutkan strategi ini dengan harapan dapat menutup kerugian di masa depan setelah pesaing tersingkir dan harga dinaikkan. Pelaku usaha kecil, yang tidak mampu menanggung kerugian besar dalam jangka panjang, akan kesulitan bertahan dan akhirnya keluar dari pasar.
Dalam jangka pendek, konsumen memang menikmati harga yang lebih murah saat predatory pricing diterapkan. Namun, begitu pesaing tersingkir dari pasar, pelaku usaha dominan akan menaikkan harga secara signifikan untuk memulihkan kerugian yang terjadi selama masa predasi.
Hal ini membuat konsumen kehilangan manfaat dari persaingan harga yang sehat dan terpaksa membayar lebih untuk produk atau layanan yang sama.
Praktek predatory pricing juga menghambat inovasi dalam pasar. Ketika pesaing kecil tersingkir dan kompetisi berkurang, pelaku usaha dominan tidak lagi terdorong untuk meningkatkan kualitas produk atau mencari solusi inovatif karena tidak ada persaingan yang menantang. Dalam kondisi pasar yang kurang kompetitif, inovasi menjadi stagnan yang biasanya dihasilkan dari persaingan ketat menjadi jarang terjadi.
Masih mengutip dari jurnal yang sama, sebuah perusahaan melakukan predatory pricing dapat indikasi dengan beberapa faktor berikut ini:
Indikasi pertama sebuah perusahaan melakukan praktek jual rugi adalah ketika pelaku usaha menetapkan harga jual di bawah biaya produksi mereka. Baik biaya tetap maupun variabel, untuk menyingkirkan pesaing dari pasar.
Biasanya ini melibatkan harga di bawah Average Variable Cost (AVC). Dengan menetapkan harga di bawah produksi, maka akan secara otomatis harga produk mereka akan di bawah pasar dan pesaing mereka.
Pelaku usaha yang melakukan predatory pricing biasanya merupakan perusahaan dominan atau incumbent yang sudah memiliki kekuatan pasar besar. Praktek ini akan sangat memungkinkan mereka menanggung kerugian dalam jangka pendek.
Selain itu, pelaku praktek jual rugi juga biasanya bertujuan untuk menyingkirkan pesaing dan menghalangi perusahaan baru masuk ke pasar.
Setelah pesaing tersingkir, perusahaan tersebut menaikkan harga secara signifikan, biasanya dalam bentuk monopoli, untuk mendapatkan kembali kerugian setelah melakukan praktek jual rugi.
Terakhir, perusahaan juga biasanya menerapkan strategi limit pricing. Strategi ini merupakan penetapan harga yang dilakukan oleh perusahaan dominan atau incumbent di pasar dengan menetapkan harga produk atau jasa pada tingkat yang sangat rendah, di bawah tingkat harga maksimum yang memungkinkan pesaing tidak mudah masuk ke pasar.
Selain indikasi di atas, dalam Hukum Persaingan Usaha, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) (2017) karya Andi Fahmi dkk, dijelaskan jika Anda juga bisa mendeteksi pelaku jual rugi dengan menggunakan beberapa jenis biaya di bawah ini:
Dalam buku Hukum Persaingan Usaha KPPU (2017), dijelaskan jika predatory pricing, atau jual rugi, dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 20 UU No. 5 Tahun 1999. Namun, tidak semua kegiatan jual rugi dianggap melanggar hukum.
Untuk menentukan apakah praktik tersebut ilegal, perlu dilakukan pemeriksaan terhadap:
Dalam konteks internasional, praktik jual rugi sering disebut dumping, di mana barang dijual di pasar dengan harga lebih rendah dari harga wajar.
Baca Juga: Mengenal praktek Damping dan Regulasinya di Indonesia
Jika suatu perusahaan terbukti melakukan predatory pricing dengan tujuan untuk menghilangkan pesaing dari pasar. Berdasarkan UU No.5 Tahun 1999 maka dapat dikenakan sanksi yang bervariasi. Mulai dari denda administratif hingga tindakan hukum yang lebih serius, tergantung pada tingkat pelanggarannya dan kerugian yang ditimbulkan.
Diantaranya:
Mengutip dari Medcom.id, salah satu contoh predatory pricing di Indonesia bisa dilihat dari praktek jual beli di platform TikTok shop pada awal-awal peluncurannya.
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menkop dan UKM) Teten Masduki mengungkapkan dugaan praktik predatory pricing yang dilakukan oleh TikTok Shop. Ia meminta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk menyelidiki dugaan tersebut.
Teten menunjukkan bahwa produk yang dijual di TikTok Shop, seperti celana, dijual dengan harga yang sangat rendah, misalnya hanya Rp2.000. Ia mencatat bahwa harga ini tampak tidak masuk akal, bahkan lebih murah dibandingkan Upah Minimum Regional (UMR) di Indonesia, yang sudah lebih rendah dari Tiongkok. Menurutnya, biaya produksi untuk barang tersebut seharusnya bisa dihitung dengan lebih kreatif oleh KPPU.
Sebagai perbandingan, penjual lokal menjual celana dengan harga sekitar Rp10.000. Dengan adanya harga yang sangat murah dari TikTok Shop, penjual lokal kesulitan bersaing. Hal ini berpotensi mengurangi pendapatan mereka dan menghambat konsumsi dalam negeri. Hal ini juga dapat membuat konsumen Indonesia bergantung pada produk impor. Sementara produsen lokal mungkin kehilangan modal, beralih profesi, atau bahkan kehilangan mata pencaharian mereka.
Semoga bermanfaat!